Minggu, 05 November 2017

PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI

PRASYARAT PROFESIONALISME
Profesi adalah kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan keguatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, yang hanya dapat dicapai melalui penguasaan pengetahuan yang berhubungan dengan sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya, serta diikat dengan suatu disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh para pelaku profesi tersebut. Untuk menjadikan seseorang sebagai profesional dalam pekerjaannya, seseorang membutuhkan beberapa prasyarat berikut :

1.      Telah melaksanakan pelatihan ekstensif sebelum memasuki profesi.
2.      Terampil dan terlatih.
3.      Memiliki komponen intelektual yang signifikan.
4.      Bersertifikat atau berlisensi.
5.      Terikat dalam suatu organisasi.
6.      Bertindak otonom.


KODE ETIK  PROFESI
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan hal-hal yang benar dan baik serta hal-hal yang dirumuskan atau ditetapkan secara resmi oleh sebuah asosiasi, organisasi profesi, atau suatu lembaga/entitas tertentu.

Penyusunan kode etik formal, dalam struktur suatu organisasi profesi , dilakukan oleh Komite Etika, yaitu entitas yang mengembangkan kebijakan, mengevaluasi tindakan, meneliti, dan menghukum berbagai pelanggaran etika. Dalam pelaksanaannya, organisasi menunjuk seseorang atau entitas tertentu untuk menjadi Pejabat Etika, yaitu pihak yang mengkoordinasikan kebijakan, memberikan pendidikan, dan menyelidiki tudahan pelanggaran etika. Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran, yang apabila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia dan bukan oleh pengadilan.

Kode etik memaksa tenaga profesional untuk memberikan jasa sabaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik profesi dapat melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik profesi merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dalam pikiran, jiwa, dan perilaku tenaga progesional. Sifat dan orientasi kode etik adalah singkat, sederhana, jelas dan konsisten, masuk akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan, komprehensif dan lengkap, serta bersifat positif dalam penyusunannya.

Kode etik ini disusun dan ditujukan untuk rekan sejawat, profesi, badan, nasabah atau klien, negara, dan masyarakat. Sebagai contoh, profesi ilmuwan informasi seperti pustakawan yang berhubungan dengan penyimpanan, pengaturan, atau pengolahan dokumen-dokumen penting perlu diatur melalui kode etik tersendiri agar para pemakai informasi tidak dirugikan dari kesalahan pencatatan, atau manipulasi informasi. Pada strategi etika berikut, ditampilkan contoh penetapan kode etik ilmuwan informasi di AS.


Strategi Etika 9.1 : Contoh Penetapan Kode Etik Untuk Ilmuwan Informasi
Pada tahun 1895 muncul untuk ppertama kalinya istilah dokumentasi, sedangkan orang yang bergerak dalam bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis. Di AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi sehingga ada perubahan nama pada badan yang bergerak dalam bidang dokumentasi. Dahulu organisasi dokumentasi di AS bernama American Documentation Institute yang kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). Sebagai sebuah organisasi profesi ASIS berupaya menyusun kode etik untuk ilmuwan informasi (information scientists).

Kode etik ASIS tumbuh dari pembahasan etika yang dimulai di Inggris. B.J. Kostrewski dan Charles Oppenheim menunjukkan bahwa ilmuwan informasi memerlukan kode etik, yang kemudian dibahas oleh ASIS melalui ASIS Public Affairs Committee (ASIS PAC). PAC menyusun rencana kode etika untuk masyarakat. Tugas PAC kemudian diteruskan oleh ASIS Professionalism Committee yang menyusun rancangan ASIS Code Of Ethics for Information Professionals. Kode etik yang dihasilkan terdiri dari pembukaan dan lima kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi.

Sumber : www.asis.org

Tuntutan profesionalisme berhubungan dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik tersebut menjabarkan beberapa prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi, yang bersifat sangat minimal. Secara umum kode etik mengarahkan para pelaku profesi untuk memiliki karakter dasar profesional berikut :
1.      Bertanggungjawab.
2.      Bersikap adil.
3.      Bersikap obyektif dan independen.
4.      Kompeten


Tabel 9.1 Elemen Kode Etik dan Kompetensi Profesional
Kode Etik
Kompetensi Profesional
Melindungi kepentingan pelanggan
Terjaminnya kelangsungan pelayanan dan aliran informasi sesuai dengan tuntutan kerja.
Terjaminnya keutuhan dan keamanan informasi pada saat dibutuhan oleh perusahaan dan pribadi.
Bila terjadi konflik secepat mungkin diindentifikasi dan dijelaskan pada pihak yang relevan.
Terjaganya kepentingan pelanggan termasuk kerahasiaan dan hak miliknya.
Menghasilkan layanan yang berkualitas
Tersedianya layanan yang sesuai dengan kebutuhan operasional untuk atasan dan keuntungan untuk pelanggan.
Terjaminnya kualitas pelayanan untuk pelanggan dan atasan.
Pekerjaan yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Terjaganya proses yang berkualitas ketika mengembangkan pelayanan.
Diberikannya layanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan atasan.
Menjamin kualitas pekerjaan
Dilakukan peningkatan keterampilan, pengetahuan, dan kualifikasi kerja.
Difasilitasinya pelayanan kepada setiap orang.
Disediakannya informasi yang berkualitas dan sesuai standar untuk pelanggan dan atasan.
Tersedianya tempat kerja yang realistis sesuai dengan tahapan pekerjaan, anggaran biaya, agar mampu menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan.
Menjaga hubungan kerja yang harmonis
Layanan bagi kolega, pelanggan, dan keryawan dilakukan sesuai prosedur.
Peningkatan keterampilan profesional dan pengetahuan secara berkesinambungan.
Sumber : dicarikan dari berbagai sumber

Pemahaman terhadap kode etik, terutama dalam suatu institusi, memerlukan proses sosialisasi kepada setiap orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan kode etik tersebut. Dibutuhkan sebuah sistem komunikasi etika, yaitu media atau metode tertentu untuk mensosialisasikan kode etik dan perubahannya, termasuk berbagai isu etika dan cara-cara untuk mengatasinya. Sistem ini bersifat dua arah, yang dilaksanakan oleh pejabat otoritas etika bersama dengan pihak-pihak dalam organisasi tersebut. Menurut Weaver, Trevino, dan Cochran (2003), keberhasilan sistem komunikasi etika tergantung dari: (1) program pelatihan etika, yaitu program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran dan membantu keryawan dalam menanggapi masalah-masalah etika, serta (2) proses penetapan disiplin, yaitu penentuan tindakan dalam hal terjadi perilaku tidak etis yang dilakukan oleh anggota entitas atau karyawan. Sebagai ilustrasi, Tabel 9.2 berikut menampilkan contoh Prinsip Etika Profesi Akuntan, yang disusun dan diberlakukan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).


Tabel 9.2 Ringkasan Prinsip Etika Profesi Akuntan Indonesia
Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
1.      Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepadasemua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menungjukkan komitmen atas profesionalisme.
1.      Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada publik. Profesiakuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis, dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dakam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2.      Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
3.      Dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh dengan integritas, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
4.      Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan, profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
5.      Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
6.      Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja.

Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan menungkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.      Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
2.      Integritas mengharuskan seorang anggota antara lain untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
3.      Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus, atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakan anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
4.      Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.


Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
1.      Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak lain.
2.      Anggota bekerja dalam berbagai kepasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas kuangan dan manajemennya di industri,pendidikan, dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
3.      Dalam menghadapi situasi dan praktuk yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etua sehubungan dengan obyektivitas, perimbangan yang cukup harus diberikan terhadao faktor-faktor berikut:
a.       Adalakanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat menggangu obyektivitasnya.
b.      Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi dimana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
c.       Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melangga obyektivitas harus dihindari.
d.      Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e.       Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadian atau entertaiment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.

Prinsip Kelima – Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kea=wajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemmapuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada pemilik.
1.      Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab progesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan.
2.      Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.
3.      Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan.
4.      Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik.

Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpe persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengunkapkannya.
1.      Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
2.      Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
3.      Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
4.      Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi tersebut untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
5.      Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung-jawab anggota berdasarkan standar profesional.
6.      Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan dimana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.

Prinsip Ketujuh – Prilaku Profesional
Setiap anggota harus berprilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
1.      Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendikreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum.

Prinsip Kedelapan – Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
1.      Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.



INTEGRITAS PROFESIONAL
Seorang profesional disebut berintegritas apabila memiliki ciri-ciri berikut (Cloud, 2003): pertama, utuh dan tidak terbagi, bermakna seorang profesional memerlukan kesatuan dan keseimbangan antara pengetahuan, keterampilan, dan prilaku etis. Utuh juga bermakna adanya keseimbangan antara kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual; kedua, menyatu yang menyiratkan bahwa seorang profesional secara serius dan penuh waktu menekuni profesinya, sekaligus juga menyenagi pekerjaannya, dan ketiga, kokoh dan konsisten, menyiratkan pribadi yang berprinsip, percaya diri, tidak mudah goyah, dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

Integritas dalam menjalankan bisnis sangat diperlukan untuk menjamin bisnis dilaksanakan dengan baik dan bermoral. Seorang akuntan publik misalnya, dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota Kantor Akuntan Publik (KAP) harus mempertahankan integritas dan objektivitas, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan adanya faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertumbangannya kepada pihak lain. Dengan integritas, seorang profesional harus menuntut dirinya sendiri untuk mempertahankan nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntan Indonesia disebutkan bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas, dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan objektivitas, ia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Dengan adanya kode etik ini, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.

Adanya integritas juga menjamin kejujuran antara produsen dengan konsumen sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling menguntungkan antarkeduanya. Ketiadaan integritas dan kejujuran dapat meningkatkan transaction costs, yaitu biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menjamin suatu transaksi jual beli yang saling menguntungkan. Semakin rendah integritas, maka semakin tinggi transactuin costs dalam suatu transaksi bisnis. Dinegara maju, transactuin costs hadir dalam bentuk biaya yang dikeluarkan untuk negosiasi, biaya pengacara dan pengadilan, biaya pengawasan, dan lainnya. Philip Evans dan Bob Wolf memperkirakan transaction costs yang harus dikeluarkan AS untuk transaksi tunai mencapai separuh dari GPD non-pemerintah selama tahun 2000 (Harvard Business Review, Juli-Agustus 2005).



Strategi Etika 9.2 : Layanan Escrow Untuk Menekan Transactions Costs di Cina
Para pengusaha di Cina yang terlibat dalam online auction mengembangkan layanan escrow seperti EachNet. Layanan ini membantu penjual untuk menyimpan pembayaran mereka sampai barangnya tiba. Pada saat yang sama, mereka juga membantu pembeli dengan memastikan penjual sudah melakukan pembayaran. Tanpa adanya perangkat hukum yang memadai, layanan escrow ini berfungsi sebagai alat untuk menjamin kejujuran kedua belah pihak. Melalui mekanisme yang menjadmin kejujuran seperti ini, transaksi ekonomi di Cina terus bertambah besar (pada tahun 2005, total transaksi online auction di Cina mencapai US$30 juta, atau 2 kali lipat dari tahun 2004). Keberhasilan EachNet mengundang eBay untuk membeli layanan tersebut pada tahun 2003 senilai US$ 180 juta.

Sumber : http//www.eachnet.com



OBYEKTIVITAS DAN INDEPENDENSI
Seorang pengampu profesi dalam memberikan layanan kepada orang lain perlu memiliki sikap obyektif dan independen. Profesional disebut obyektif jika tindakan yang dilakukan sesuai tujuan, sesuai sasaran, tidak berat sebelah, dan selalu didasarkan kepada fakta atau bukti yang mendukung, sedangkan independen mengacu kepada sikap tidak memihak serta tidak di bawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.

Independensi kaum profesional dapat dinilai dari dua sisi, yaitu independence in fact, seseorang yang secara mental dinilai independen, dan independece in appearance, seseorang yang diragukan independensinya berdasarkan penilaian orang lain (dilihat dari sudut pandang hubungan secara fisik), meskipun ada kemungkinan secara mental orang tersebut tetap independen. Sebagai contoh, untuk profesi auditor telah diatur dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntan Indonesia (Tabel 9.2 diatas) bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas, dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan obyektivitas, ia akan bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Adanya kode etik ini akan membantu masyarakat untuk menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan.








Referensi:

Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : UPP STIM YKPN

Sabtu, 04 November 2017

ETHICAL GOVERNANCE

Definisi Good Corporate Governance (GCG)
Definisi Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager dkk.,  2003). Corporate Governance adalah “refers to a group of people getting together as one united body with the task and responsibility to direct, control and role with authority. On a collective effort this body empowered to regulate, determine, restrain, urban exercise the authority given it” (Josep, 2002).

Pemahaman Good Corporate Governance (GCG) tidak bisa dikesampingkan dari shareholding theory. Shareholding theory mengatakan bahwa perusahaan didirikan dan dijalankan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemilik/pemegang saham sebagai akibat dari investasi yang dilakukannya.

Adapun definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committeee yang berdasar pada teori stakeholder adalah sebagai berikut:

A set of rule that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”.

(seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka). 



            Atas pendapat di atas kita dapat menarik satu pengertian dari Good Corporate Governance (GCG). Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu bentuk keputusan dengan memposisikan perusahaan secara jauh lebih tertata dan terstruktur, dengan mekanisme pekerjaan yang bersifat mematuhi aturan-aturan bisnis yang telah digariskan serta siap menerima sangsi jika aturan-aturan tersebut dilanggar. 


Good Corporate Governance (GCG) dan Manajemen Perusahaan
            Corporate Governance adalah suatu konsep yang memiliki idealisme untuk mewujudkan tujuan-tujuan pemegang saham. Para pemegang saham menginginkan keuntungan yang maksimal dalam setiap investasi yang dilakukan. Namun dalam berbagai kasus yang terjadi kadangkala pihak manajemen perusahaan sering tidak mampu memenuhi keinginan yang ditargetkan oleh para pemegang saham secara baik.

            Pada gambar dapat kita lihat bahwa komisaris memiliki kedudukan tertinggi di suatu organisasi, atau dengan kata lain komisaris perusahaan adalah pemilik perusahaan. Dan direktur utama serta para direktur di bawahnya adalah manajemen perusahaan yaitu mereka yang menjalankan perusahaan artinya para manajemen perusahaan bekerja untuk memberikan keuntungan yang maksimal kepada para komisaris atau para pemegang saham.

            Dan lebih jauh komisaris perusahaan memiliki hak untuk memecat atau menggantikan direksi dan beberapa posisi penting lainnya di perusahaan tersebut, dengan catatan jika pihak direksi tidak mampu melaksanakan kinerja sesuai dengan rencana-rencana yang ditetapkan oleh pihak komisaris perusahaan. Kondisi seperti ini sering menimbulkan konflik, yaitu konflik antara manajemen dan komisaris.

            Salah satu konflik yang memungkinkan untuk terjadi adalah jika komisaris perusahaan menginginkan agar pihak manajemen melaksanakan suatu project dimana pihak manajemen perusahaan menganggap bahwa rencana project tersebut adalah tidak realistis dengan kondisi dan situasi internal perusahaan. Karena pada prinsipnya yang paling mengetahui kondisi internal suatu perusahaan adalah pihak manajemen mulai dari kondisi personalia, keuangan, pemasaran, dan produksi serta berbagai faktor eksternal lainnya. Konflik antara komisaris dan pihak manajemen dikenal dengan agency theory.


Etika Bisnis dan Konsep Good Corporate Governance (GCG)
            Pada saat ini salah satu aturan yang terjelaskan secara tegas bahwa suatu perusahaan yang ingin atau berkeinginan untuk go public adalah perusahaan tersebut harus memiliki konsep serta mengaplikasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Penegasan ini menjadi jelas pada saat melihat bagaimana beberapa perusahaan sebelumnya yang dianggap bermasalah di pasar modal (capital market) karena kinerja perusahaan rendah atau bermasalah. Dan salah satu faktor penyebab rendahnya kinerja tersebut disebabkan tidak diterapkannya prinsip-prinsip GCG secara tegas.

            Ada beberapa alasan yang mengharuskan perusahaan-perusahaan menerima konsep Good Corporate Governance (GCG) untuk diterapkan, yaitu: 


            Pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia untuk selanjutnya disebut Pedoman GCG merupakan aturan bagi perusahaan untuk melaksanakan GCG dalam rangka:

1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
2.   Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.
3.  Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4.  Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5.      Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
6.     Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

Tabel 1.3: Skor Peringkat Good Governance di Asia
Negara
Skor
Singapura
2,00
Hongkong
3,59
Jepang
4,00
Philipina
5,00
Taiwan
6,10
Malaysia
6,20
Thailand
6,67
Cina
8,22
Indonesia
8,29
Korea Selatan
8,83
Vietnam
8,89
Keterangan: Makin Tinggi Skor, makin buruk Good Governance
                  Sumber: Media Akuntansi, No. 17/TH.VII/April-Mei 2001.


Good Corporate Governance dalam Konteks Bisnis Masa Depan
            Keinginan mereka menerapkan GCG adalah bentuk dari usaha mereka menghargai tata konsep bisnis modern. Karena bisnis tidak lagi bisa dijalankan secara konvensional seperti dahulu, yaitu pemilik memiliki kekuasaan yang begitu tinggi dan dengan mudah memerintah serta memecat setiap agent yang dianggap tidak bisa bekerja dengan baik. Sifat arogansi ini secara nilai-nilai etika bisnis menjadi salah, karena keputusan yang arogan dianggap tidak mengedepankan etika bisnis namun lebih mengedepankan keinginan untuk meraih keuntungan semata atau profit. Padahal profit dalam bisnis bukan satu-satunya tujuan, ada tujuan lain yaitu keinginan untuk memberikan karya bagi pembangunan bangsa.


Permasalahan yang Timbul dalam Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
            Ada beberapa permasalahan umum yang dihadapi dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), yaitu:

1. Pemahaman tentang konsep Good Corporate Governance (GCG) pada beberapa manajer di Indonesia masih kurang.
2. Sebagian pihak menganggap konsep Good Corporate Governance (GCG) dianggap sebagai penghambat berbagai keputusan perusahaan, karena perusahaan tidak lagi bisa leluasa dalam mengambil keputusan khususnya harus patuh pada aturan GCG.
3. Aparat penegak hukum harus dibekali konsep pemahaman Good Corporate Governance (GCG) secara luas termasuk adanya jurnal dan buku teks yang menjelaskan secara khusus tentang GCG dalam konteks prespektif Indonesia.
4. Menurut Herwidayatmo (2000), praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat dikelompokkan menjadi:

a.Adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan,
b. Tidak efektifnya dewan komisaris, dan,
c. Lemahnya law enforcement.






Referensi:

Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : UPP STIM YKPN