Teori Perdagangan Internasional
Menurut
Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam
negeri, perdagangan internasional
sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena
adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea,
tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena
adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum
dalam perdagangan.
a.
Teori Klasik Dalam
Perdagangan Internasional
1.
Teori nilai yang digunakan Adam Smith
adalah teori biaya produksi, walaupun semula menggunakan teori nilai tenaga
kerja. Barang mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Ongkos produksi menentukan harga relatif barang,
sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan harga pasar dalam
jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga alamiah, dan dengan
teori tersebut timbul konsep paradoks tentang nilai.
2.
Ricardo adalah seorang Pemikir yang paling
menonjol di antara segenap pakar Mazhab Klasik. Ia sangat terkenal karena
kecermatan berpikir, metode pendekatannya hampir seluruhnya deduktif. David
Ricardo telah mengembangkan pemikiran-pemikiran Adam Smith secara lebih
terjabar dan juga lebih sistematis. Dan pendekatannya teoretis deduktif,
pemikirannya didasarkan atas hipotesis yang dijadikan kerangka acuannya untuk
mengkaji berbagai permasalahan menurut
pendekatan logika. Teori yang dikembangkan oleh Ricardo menyangkut empat
kelompok permasalahan yaitu: teori
tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh produksi dan
disajikan sebagai teori upah, teori sewa tanah, teori bunga dan laba, teori
tentang nilai dan harga, teori perdagangan internasional dan, teori tentang akumulasi
dan perkembangan ekonomi.
b. Teori
Neo-Klasik Dalam Perdagangan Internasional
i.
Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan
tentang ekonomi baik dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak
lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah
beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility). Pendekatan ini
merupakan pendekatan yang baru dalam
teori ekonomi.
ii.
Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu
Gossen, dia telah memberikan sumbangan dalam
pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I dan II.
Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan
tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana konsumen
mengalokasikan pendapatannya untuk
berbagai jenis barang yang diperlukannya. Selain Gossen, Jevons dan
Menger juga mengembangkan teori nilai dari kepuasan marjinal. Jevons
berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan dalam menentukan nilai
barang. Dan perbedaan preferences yang menimbulkan perbedaan harga. Sedangkan
Menger menjelaskan teori nilai dari orde berbagai jenis barang, menurut dia nilai suatu barang
ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Dengan teori
orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.
iii.
Pemikiran yang sangat mengagumkan yang
disusun oleh Walras tentang teori keseimbangan umum melalui empat sistem
persamaan yang serempak. Dalam sistem itu terjadi keterkaitan antara berbagai
aktivitas ekonomi seperti teori produksi, konsumsi dan distribusi. Asumsi yang
digunakan Walras adalah persaingan sempurna, jumlah modal, tenaga kerja, dan
lahan terbatas, sedangkan teknologi produksi dan selera konsumen tetap. Jika
terjadi perubahan pada salah satu asumsi ini maka terjadi perubahan yang berkaitan
dengan seluruh aktivitas ekonomi.
Perkembangan
Ekspor Indonesia
Sejak tahun 1987 ekspor
Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada tahun-tahun
sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini terjadi setelah
pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor,
sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspor non migas. Pada tahun
1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83, 88% dari total nilai ekspor
Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas tersebut
sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun 5,13%). Hal
ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997.
Tahun
2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa
migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4
juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut
di tahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta
US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk ekspor non migas yang menurun 8,53%. Di
tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik
6,82% banding ekspor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama
terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun
2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik
17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$. Pada
tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$
atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81%
dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama
lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat
rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor
tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$
(5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya
impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non
migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode
yang sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat
dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama
lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73,85% per tahun. Dibandingkan
tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di
tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi
68,95%.
Tingkat
Daya saing
Daya saing merupakan salah
satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan
internasional. Berdasarkan badan pemeringkat daya saing dunia, IMD World Competitiveness Yearbook 2006,
posisi daya saing Indonesia sangat menyedihkan. IMD World Competitiveness Yearbook (WCY) adalah sebuah laporan mengenai
daya saing negara yang dipublikasikan sejak tahun 1989. Pada tahun 2000, posisi
daya saing Indonesia menduduki peringkat 43 dari 49 negara. Tahun 2001 posisi
daya saing Indonesia semakin menurun, yaitu menduduki peringkat 46.
Selanjutnya, tahun 2002 posisi daya saingnya masih menduduki posisi bawah,
yaitu peringkat 47. Lalu, tahun 2003, posisi daya saingnya malah makin
terpuruk, yaitu menduduki peringkat 57. Tahun 2004 menduduki peringkat 58.
Tahun 2005 Indonesia menduduki posisi 58. Tahun 2006 Indonesia telah menduduki
posisi 60.
Posisi daya saing yang cenderung makin menurun
membuktikan bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki di negeri ini. Sebagai
negara yang memiliki wilayah daratan sebesar 1,9 juta kilometer persegi dan
luas wilayah lautan lebih dari 3,2 juta kilometer persegi, serta kekayaan
alamnya yang tersebar luas, sangat disayangkan karena daya saing Indonesia jauh
di bawah negara tetangga.
Faktor dalam menentukan daya
saing menurut IMD World Competitiveness Yearbook terbagi menjadi 4 kategori yaitu,
kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, infrastruktur. Setiap
kategori memiliki beberapa kriteria. IMD World Competitiveness Yearbook
(WCY) memeringkat dan menganalisis kemampuan suatu negara dalam menciptakan dan
menjaga lingkungan di mana perusahaan dapat bersaing. Persaingan akan membawa
suatu negara lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain.
Kinerja ekonomi terdiri dari 77 kriteria
mengenai evaluasi makro ekonomi domestik. Kriteria kinerja ekonomi meliputi
ekonomi domestik, perdagangan internasional, investasi internasional,
pengangguran dan harga.
Efisiensi pemerintah terdiri dari 72 kriteria
mengenai kebijakan pemerintah yang mempengaruhi iklim kompetitif. Kriteria
efisiensi pemerintah meliputi keuangan publik, kebijakan fiskal, kerangka kerja
institusi, peraturan bisnis, dan kerangka kerja sosial.
Efisiensi bisnis terdiri dari 68 kriteria yang
mempengaruhi kinerja perusahaan dalam inovasi, keuntungan dan tanggung jawab.
Kriteria efisiensi bisnis meliputi produktivitas dan efisiensi, pasar tenaga
kerja, pembiayaan, perilaku dan praktik manajemen.
Sumber :
- http://www.academia.edu/8732972/TEORI-TEORI_PERDAGANGAN_INTERNASIONAL
- http://www.slideshare.net/NauraFarihatu/perkembangan-ekspor-indonesia
- https://yohanli.wordpress.com/2008/07/30/peningkatan-daya-saing-indonesia-di-dalam-perdagangan-internasional/
Selamat siang
BalasHapusini adalah dasar dana global, kami memberikan pinjaman per pendanaan proyek tahunan 100% dengan pinjaman aman dan tidak aman yang tersedia kami dijamin dalam memberikan layanan keuangan untuk banyak klien kami dengan paket pinjaman fleksibel kami pinjaman dapat diproses dan dana ditransfer ke peminjam dalam waktu sesingkat mungkin kita beroperasi di bawah persyaratan yang jelas dan mudah dipahami dan kami menawarkan pinjaman kepada semua jenis untuk tertarik klien perusahaan perusahaan dan semua jenis organisasi bisnis, individu swasta dan investor real estate hanya menghubungi kami dengan nama di bawah Jika Anda sedang melihat bagaimana mendapatkan pinjaman hubungi kami kami dapat membantu Anda keluar EMAIL: globalfundfoundation9@gmail.com